Spring Equinox: Musim Penuh Berkah

Mereka yg hidup di negeri empat musim, khususnya di belahan bumi utara (Northern Hemisphere) ada masanya ketika waktu gelap (malam) lebih panjang dari pada waktu terang (siang). Bila waktunya musim dingin (salju) tiba, keadaan makin tambah sulit. Pada mereka yg hidupnya masih mengandalkan pertanian dan perburuan, hidup di musim ini benar-benar menjadi soal survival (bertahap hidup) saja: tanaman tidak menghasilkan, hewan buruan sulit dicari, air membeku, suhu yg jatuh hingga di bawah nol derajat celcius benar-benar membuat segala sesuatunya serba sulit.

Itu sebabnya, memasuki pertengahan Maret, ketika poros bumi kembali dekat ke posisi normal, dan di mana waktu terang (siang) dan gelap (malam) kembali sama panjangnya, dan ketika matahari kembali mulai menampakkan dirinya setelah “tertidur” selama musim dingin, keadaan ini dirayakan dan diperingati secara meriah oleh kebudayaan-kebudayaan “kafir” Eropa.

Betapa tidak? Setelah sekian lama hidup dalam masa “kegelapan”, kini segala sesuatunya bersemi kembali: matahari “bangkit” kembali bersinar terang, flora mulai bertumbuhan kembali, fauna mulai keluar dari persembunyiannya, sungai-sungai dan danau mulai mencair. Intinya, roda energi kehidupan seolah mulai bergerak kembali.

Inilah yg oleh kebudayaan “kafir” Eropa dirayakan meriah dalam tradisi “Easter”: yaitu datangnya musim baru yg lebih hidup, musim semi alias spring equinox.

Setelah agama Kristen menjadi agama resmi Imperium Romanum, tradisi perayaan “kafir” tadi dilestarikan namun diberi konten yg baru karena ndilalah koq kebetulan makna teologisnya mirip-mirip dengan perayaan Paskah Kristen, yaitu memperingati kebangkitan Sang Mesias yg selama tiga hari sebelumnya mati karena disalibkan.

Tidak sulit untuk melihat paralelisasi antara tradisi “kafir” yg merayakan datangnya musim baru, musim yg membawa kehidupan baru, dengan tradisi Kekristenan yg merayakan datangnya (bangkitnya) Sang Mesias sebagai pembawa kehidupan baru bagi seluruh mahluk semesta alam.

Kita yg hidupnya tidak merasakan kekejaman musim salju, apalagi di jaman modern ini di mana kehidupan kita sudah tidak lagi bergantung pada alam, tentu sulit untuk merasa related dengan kesadaran yg merayakan “Spring Equinox” seperti masyarakat Northern Hemisphere di abad-abad lalu. Namun, sekedar memberi gambaran saja, bagi masyarakat yg kesadarannya masih terikat pada hal-hal eksternal di luar dirinya, musim semi (Spring Equinox), atau Easter, atau Paskah menjadi hari-hari yang kedatangannya selalu dirindukan dan diidam-idamkan sepanjang tahun.

Kesadaran yg melahirkan pemujaan berlebihan pada hari-hari atau musim-musim tertentu seperti ini tentu tidak keliru. Hanya saja, kesadaran seperti ini belum mengalami evolusi ke tahap berikutnya.

Pada kesadaran tahap berikutnya, di mana diri kita sudah tidak lagi terikat atau terpengaruh dengan kondisi eksternal kita, maka yg kita lakukan adalah:

-“reliving” alias menghidupkan hidup-saat-ini (present moment),
– “recreating” alias menciptakan hidup-saat-ini, dan
– “reclaiming” alias mendaku/mengklaim hidup-saat-ini,

sebagai sebuah perayaan yg merayakan kebangkitan kehidupan sepanjang musim tanpa perlu menunggu momen itu benar-benar tiba dulu untuk kemudian baru dirayakan.

Merindukan musim semi datang adalah kesadaran sentimentil, kesadaran “Aku berharap…”, kesadaran “lacking/longing”. Sebaliknya, menciptakan, menjelmakan dan mengejawantahkan musim semi di setiap musim adalah kesadaran “to be”, kesadaran “Aku adalah…”, kesadaran berkelimpahan (abundance).

Pada titik ini, teman-teman dari tradisi ortodoks dan katolik sudah tepat, karena mereka melakukan ritual ekaristi (makan roti & minum anggur sebagai simbol dr tubuh dan darah Kristus) di setiap minggu. Pengorbanan dan kebangkitan Kristus memang harus kita peringati (dan hidupkan) tanpa harus menunggu pas jatuhnya perayaan Paskah, melainkan setiap hari sepanjang musim. Dan terutama, pada present moment alias hidup-saat-ini.

@simulacra76

Leave a comment