Ketaatan Membuka Pemahaman

Cerita berikut ini saya dapat ketika tengah mencoba resep “ampyang”; camilan dari jawa berupa kacang tanah berlumur gula aren plus irisan jahe, yang dicetak bulat pipih. Dalam proses mencoba itulah saya semacam mendapat “pewahyuan”.

Kisahnya begini, hampir semua resep ampyang yang saya ikuti, selalu menyebutkan unsur gula aren dan gula pasir putih di dalamnya. Tapi, tidak satupun dari mereka yang menyebutkan dengan gamblang, apa kegunaan gula pasir putih di situ.

Sebagai seorang yang pernah belajar pilsapat (berani berpikir sendiri), saya putuskan untuk tidak perlu menambahkan gula putih pada resep saya. Karena pikir saya, buat apa lagi? Sudah ada gula aren koq masih pake gula putih. Apa gak kemanisan nantinya? Dan bagi saya gula aren lebih “sehat” dari pada gula putih. Karena itulah, saya putuskan saja untuk membuat ampyang dengan resep tanpa gula putih.

Kacang disangrai. Jahe diparut banyak-banyak (karena saya suka jahe dan kehangatannya). Gula aren terbaik saya cairkan dan dimasak bersama jahe. Setelah masak, dicetak.

Nah, pada proses pencetakan inilah baru saya mulai curiga. Karena setelah ditunggu-tunggu hingga lebih dari 5 menit, koq ampyangnya tidak juga mengering. Dan kalau akhirnya kering pun, hasil akhirnya alot, lengket. Sukar digigit dan tidak renyah.

Dari kegagalan pertama ini, saya mulai mikir, jangan-jangan gula putih di dalam semua resep ampyang itu gunanya bukan untuk menambah rasa manis melainkan untuk membuat ampyang lekas kering dan renyah. Dan memang ternyata benar dugaan saya.

Besoknya saya coba lagi. Dan kali itu berhasil. Ampyang buatan saya sukses seusai dengan ekspektasi. Kering, renyah, tidak alot dan tidak membuat gigi copot.

* * *

Penulis terkenal Rick Warren bilang, “Obedience unlocks understanding“, ketaatan membuka jalan pada pemahaman. Warren percaya betul pada ketaatan. Dan ia mendorong semua pembaca serta pengikutnya untuk selalu taat pada TUHAN dan segala perintahNya. Walaupun kadang kita, pada saat ini, tidak mengerti dan memahami perintah-perintahNya. Tapi suatu saat nanti kita pasti akan mengerti. Taat saja dulu. Nanti akan paham. Begitu menurut Warren.

Dulu, saya mengamini kata Warren ini. Tapi belakangan, dalam banyak hal, pengalaman saya mengarah pada kesimpulan yg berbeda dengan Warren.

Secara pribadi, saya banyak memahami “rahasia kehidupan” justru dari jalan pelanggaran aturan, kekeliruan, dan keterpurukan. Sebaliknya, saya melihat banyak sekali orang yg taat tapi gak paham-paham juga dengan substansi dan maksud-tujuan dari aturan hukum yg ditaatinya. Istilah saya, orang-orang semacam ini, “taat untuk taat” murni. Bukan, “taat agar paham”.

Ketaatan pada orang-orang ini semacam robot mekanis yg tak punya hati dan pertimbangan akal budi nurani. Yang penting taat. Yang penting menunaikan kewajiban dan perintah. Selesai perkara. Tinggal nanti menjemput rewards nya sesuai dengan ketentuan.

Dan terang saja, sejalan waktu, saya makin “jauh” dengan nasehat Warren soal “ketaatan” ini. Terutama setelah saya mengenal jalan mistikal dari para hermit, dari para guru-guru sufi yg mengajarkan jalan mengenal Isi, Content, Hakikat, Sang Cinta itu sendiri, ketimbang sekedar mengenal dan taat pada bentuk-bentuk, wadah, dan containers lainnya.

Hampir semua guru-guru spiritual yg saya ikuti di jalur ini setidaknya sepakat bahwa TUHAN bisa (dan otonom) untuk membuat manusia mengerti dan memahami perintah maupun maksud & tujuanNya dengan cara apapun. Termasuk juga dari jalan pemberontakan, pelanggaran, dan kekeliruan. Malahan, kalau mau jujur dan setia pada kesaksian Kitab Suci, sebagian besar kisah para nabi dan leluhur iman kita (perjanjian lama) sesungguhnya adalah sebuah siklus dari ketaatan dan pelanggaran yang tiada akhir.

Dari itu, pemberitaan yg hanya memberi penekanan pada satu sisi, dalam hal ini “ketaatan”, bisa dibilang adalah sebuah pereduksian. Ketaatan dan pelanggaran adalah dinamika dalam diri manusia yg terbatas. Namun justru dari situlah terbuka peluang dan jalan bagi proses transmisi makna yang sesungguhnya, dari TUHAN kepada manusia, mengalir dengan bebas, tak tunduk pada kungkungan definisi konsep apapun, seperti halnya angin (ruakh).

Dalam pengalaman saya, ketaatan tidak melulu membawa pemahaman dan pengertian. Sebaliknya, saya banyak memahami dan mengerti pesan-pesan TUHAN (kadang pesan yg sangat sederhana sifatnya) justru dari kekeliruan dan pelanggaran. Teman saya yang dari pelosok kampung menyebut gejala ini dng istilah, “learning a simple truth in a hard way“.

Ada yg bilang, pemahaman (pelajaran) yg didapat seseorang lewat cara seperti ini (in a hard way, lewat situasi keterpurukan, pelanggaran, kekeliruan) akan lebih melekat dan terhayati lebih mendalam ketimbang mereka yg sekedar mempelajari dan menghapalnya dari buku-buku pelajaran dan resep-resep. Baik itu buku pelajaran bertema keagamaan, self-help, motivasi, atau dalam hal ini resep masakan. 😁😂

Terus bagaimana, jadi yg benar itu jalan ketaatan atau jalan pemberontakan?

Nah, pertanyaan model begini adalah pertanyaan yg berasal dari cara pikir oposisi biner alias dualistik; “entah ini atau itu”, “all or nothing“, “kalau ndak hitam ya putih”.

Dan dalam cara berpikir yg dualistik, dua hal yg sama-sama benar akan dibaca sebagai sesuatu yg “invalid“. Cara pandang dualistik tidak dan belum mampu menerima ada dua hal yg sama-sama benar adanya. Kenapa? Nanti kita bahas dalam postingan yang berbeda ya.

Yang jelas untuk saat ini, di tulisan ini, baik ketaatan maupun pelanggaran BISA membawa kita lebih dekat pada pemahaman. Keduanya sama-sama benar, tergantung di mana posisi/fase kita sekarang. Di fase pagi atau senja? First half of life or second half of life?

Salam,
@simulacra76
jumat, 201120

Leave a comment