4 Kunci Kebahagiaan

“We make a living by what we get. We make a life by what we give.” – Winston Churchill

Matius 14 : 13 – 21

Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka. Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.
Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.” Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.”Yesus berkata: “Bawalah ke mari kepada-Ku.”
Lalu disuruh-Nya orang banyak itu duduk di rumput. Dan setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh. Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

*** 

Dale Carnegie pernah menulis begini; “It isn’t what you have or who you are or where you are or what you are doing that makes you happy or unhappy. It is what you think about it.” Soal bahagia atau tak bahagia itu, ungkap Carnegie, tidak tergantung pada kepemilikan, jatidiri status sosial, tempat atau lokasi, dan perbuatan-perbuatan tertentu. Anda bahagia kalau anda mau berpikir bahwa anda bahagia. Kebahagiaan adalah soal cara pandang. Jadi, kita sendiri yang menentukannya.

Masalahnya, apa semudah itu? Kata-kata motivasi memang seringkali indah, tapi pelaksanaanya belum tentu mudah. Apalagi di tengah konteks dunia yang semakin materialistis dan hedonis seperti sekarang ini. Tiap detik, tiap saat, anak-anak TUHAN disergap oleh jutaan iklan dan ribuan merk dari berbagai penjuru. Tujuannya Cuma satu; mengelabui pikiran kita agar kita percaya bahwa kita tak bisa bahagia kalau kita belum mengikuti lifestyle yang mereka tawarkan; kalau kita belum memiliki dan membeli produk mereka.

Nah dengan masifnya tipu daya dunia menawarkan kebahagiaan semu tersebut, wajar jika kita, dengan nada kurang yakin dan kurang pede, bertanya pada TUHAN; apa benar dengan keadaan diriku ini, dengan segala keterbatasan, kekurangan dan kepas-pasanku ini, dengan segala akar pahit peristiwa lampau yang telah aku lewati, dengan segala luka-luka batinku ini, aku masih bisa bahagia?

Dalam perikop bacaan kita, pernyataan senada juga muncul dari para murid. Konteksnya, Yesus kala itu menyuruh para murid untuk memberi makan 5000an massa yang terus mengikuti Yesus itu. Para murid bingung, bagaimana dan dengan apa mereka bisa melakukan itu.

Persis pada adegan inilah pernyataan kurang yakin dan kurang pede terucap dari salah satu murid. “Guru, kami cuma punya 5 roti dan 2 ikan. Apa bisa memberi makan segini banyak orang?” (ayat 17).

Inilah kesamaan kondisi kita sekarang dan para murid di jaman Yesus dulu. Kita sama-sama terbelenggu oleh hal-hal yang tangible, seperti 5 buah roti dan 2 ikan tersebut. Sebaliknya, kita menutup ruang pada daya kreatif TUHAN yang intangible dan tak terbatas, padahal sesungguhnya daya itu mampu dan efektif dalam menembus dan melampaui keterbatasan yang terlihat oleh mata fisik manusia.

Tak heran, dalam doa kita lantas bertanya, TUHAN, mungkinkah aku bahagia sedangkan aku kerja dari pagi sampai malam dan hanya digaji sebulannya tak lebih dari sejuta perak? TUHAN, mungkinkah aku bahagia kalau rumah saja masih kontrak di petakan kecil begini? TUHAN, mungkinkah aku bahagia kalau tiap hari kepanasan dan kehujanan di atas sepeda motor kreditan? TUHAN, mungkinkah aku bahagia sedangkan aku jomblo begini? TUHAN, mungkinkah aku bahagia kalau rumah tangga kami tidak dikaruniai anak?

Pembaca yang budiman, kisah dalam perikop kita ini memberikan beberapa tips dan pelajaran penting agar kita dapat beroleh kebahagiaan dan menyadari kekeliruan yang selama ini membuat hidup kita seolah kurang bahagia.

Pada ayat 18, menanggapi pernyataan para murid yang bernada tak yakin, Yesus perintahkan mereka untuk menyerahkan bahan makanan tersebut ke padanya. “Bawa kemari 5 roti dan 2 ikan itu!”, ujar Yesus.

Ini adalah tips pertama. Jangan fokus pada problem yang sedang dihadapi atau kekurangan yang sedang dialami. Serahkan semua itu kepada TUHAN. Bawa semua pergumulan kita dan serahkan ke dalam tangan-Nya.

Lalu Yesus menyuruh orang banyak itu untuk duduk di rumput (ayat 19). Kata “duduk” diterjemahkan dari kata Yunani anaklino yang maknanya “bersandar pada sesuatu, dengan tubuh condong ke belakang” atau “berbaring”. Orang Yahudi pada masa itu tidak duduk di kursi. Begitu pula ketika sedang makan. Mereka biasanya duduk santai di lantai. Mungkin istilah yang tepat untuk menerjemahkan cara duduk orang Yahudi pada saat makan adalah “duduk leyeh-leyeh”.

Jadi ayat 19 tak sekedar mengisahkan bagaimana Yesus menyuruh orang banyak untuk duduk di rumput. Lebih dari itu. Ayat ini mengisahkan bagaimana upaya Yesus meyakinkan orang banyak untuk mau bersikap santai alias relax. Ia sedang meyakinkan mereka untuk tidak perlu khawatir.

“Duduk saja dulu. Tenang sajalah. Percayakan semua padaku.” Kira-kira begitu maksud Yesus.

Maka, tips kedua kita adalah; setelah menyerahkan semua persoalan dan keterbatasan kita pada Bapa, jangan lagi hati kita masih disusahkan dengan kekhawatiran ini dan itu. Ini adalah jalan kepercayaan mutlak; kalau kita percaya pada Dia, serahkan semuanya secara total. Relax dan percayalah sepenuhnya pada Dia yang kepada-Nya kita menyandarkan hidup kita.

Lantas, setelah orang banyak itu leyeh-leyeh dengan santai, barulah Yesus mengangkat tangannya dan mengucap syukur pada Sang Bapa. Tips ketiga untuk hidup bahagia; tahu mengucap syukur! Walaupun ada jurang yang sangat lebar antara kebutuhan makan dan ketersediaan makanan, Yesus sama sekali tidak bersikap pesimis. Dengan kekurangan materi yang ada padanya saat itu, 5 roti dan 2 ikan, Yesus tetap mengucap syukur. Jadi, apapun situasi dan kondisi Anda kini, mengucap syukurlah pada TUHAN, selalu!

Terakhir, setelah mengucap syukur, Yesus membagi-bagi roti dan ikan itu kepada khalayak banyak.

Nah, banyak dari kita yang berpikir bahwa berbagi dengan mereka yang kekurangan hanya tugasnya orang-orang kaya yang berkelebihan saja. Lewat kisah ini kita bisa lihat, Yesus sendiri berbagi makanan justru dalam kondisi keterbatasan, dari 5 roti dan 2 ikan, bukan dalam kelimpahan ribuan roti dan ratusan ikan.

Inilah tips meraih kebahagiaan yang keempat, berbagilah selalu dengan sesama kita yang membutuhkan.

Dan untuk berbuat itu, tak perlu menunggu berkelimpahan dulu. Dalam keterbatasan pun kita tetap bisa berbagi dengan sesama. Kuncinya ada di tips ketiga; tahu mengucap syukur. Dari kebiasaan mengucap syukur, 5 roti dan 2 ikan tak lagi dilihat sebagai keterbatasan melainkan kelebihan.

Maka di atas semuanya ini, tahukah anda bahwa ada sebuah misteri di balik kebiasaan berbagi dengan sesama. Apa itu? Tak ada seorangpun yang karena sering berbagi lalu berakibat jatuh miskin. Dari kesaksian yang sering kita dengar, justru makin sering kita berbagi, makin banyak dan melimpah pula berkat dan kebahagiaan yang kita rasakan.

Inilah yang dalam bacaan kita digambarkan pada ayat 20 sebagai, “…semua orang makan sampai kenyang bahkan makanan tersebut masih sisa hingga dua belas bakul.” Aneh tapi nyata bukan? Kok, 5 roti dan 2 ikan yang dibagi-bagi ke orang banyak hasilnya malah jadi berlimpah dan berlebih? Adakah ahli matematika yang bisa merumuskan dan menjawab ini?

Semoga kita semua berbahagia dalam kelimpahan yang daripada TUHAN.

Leave a comment