Kawan Yang Setia Menghiburmu

Minggu, 6 Mei 2012

Beberapa tahun belakangan ini, sebuah peristiwa memaksa saya untuk memeriksa kembali kekurangan-kekurangan saya sebagai seorang manusia. Dalam momen reflektif tersebut, saya menyadari bahwa ternyata saya kurang pandai dalam perkara memeilhara hubungan dengan teman-teman lama saya.

Maksud saya begini. Dalam aliran kehidupan, kita akan selalu berjumpa dengan orang-orang baru. Kadang, untuk suatu periode waktu, perjumpaan itu begitu intens dan rutin sehingga lambat laun kita semakin akrab dan saling kenal satu dengan lainnya. Kebersamaan dalam pasang surutnya waktu memancing keikutsertaan batin dan juga perasaan. Momen sukacita maupun duka yang dilewati secara bersama-sama makin meneguhkan ikatan-ikatan batin masing-masing dari kita. Maka, orang-orang baru di sekitar kita tadi -yang mulanya asing- pelan tapi pasti akhirnya menjadi sahabat-sahabat baru kita. Mereka-mereka inilah yang untuk kurun waktu tertentu turut memberi warna, nuansa dan makna dalam perjalanan hidup kita.

Masalahnya, masing-masing orang punya jalan hidupnya sendiri-sendiri. Sahabat dan kawan selalu datang dan pergi. Tugas, tanggung jawab atau mungkin juga cinta, kadang memaksa sahabat-sahabat kita untuk berpindah dan keluar dari lingkungan terdekat kita. Sehingga pada akhirnya, bukan hanya secara fisik namun secara emosional, hubungan kita dengan mereka pun benar-benar berjarak jauh.

Inilah yang saya maksud tentang kekurangan saya tadi. Setelah saya ingat kembali, saya punya banyak sekali teman dekat di dalam hampir setiap fase kehidupan saya. Namun, begitu pada fase kehidupan berikutnya kami harus berpisah -apalagi kalau dalam pada itu kami tak saling bertukar alamat atau nomer kontak- maka sedekat apapun hubungan kami sebelumnya, bisa dipastikan kemudian akan pelan-pelan renggang.

Dengan malu harus saya katakan, saya kurang mampu memelihara hubungan dengan sahabat-sahabat lama saya. Termasuk dalam hal ini kepada mereka yang -dalam penilaian saya- saya sangat berhutang budi kepada mereka.

Apakah saya orang yang tak tahu membalas budi baik orang lain? Apakah saya orang yang sombong? Inilah yang menjadi renungan saya akhir-akhir ini.

***

Tahun 1999, ketika saya memasuki STT Apostolos, adalah salah satu fase berikutnya dalam tahapan kehidupan saya. Di sinilah saya kembali berjumpa dengan orang-orang baru dengan latar belakang yang beragam. Malah, bisa dikatakan kontras dengan saya.

Salah seorang yang kehadirannya paling berkesan dalam fase kehidupan saya untuk 4 tahun berikutnya itu adalah Yesaya Kafolamau. Yesaya orang Alor, sebuah kepulauan yang masuk dalam wilayah Nusa Tenggara Timur. Tapi beberapa tahun terakhir sebelum datang ke Jakarta untuk menimba ilmu teologi ia tinggal di Kota Kupang.

Sebagaimana umumnya orang dari Indonesia Timur di mata seorang Jawa seperti saya, secara fisik penampilan Yesaya cukup sangar. Kulitnya lebih gelap dari saya. Alisnya tebal. Rambut ikal. Sorot matanya tajam. Itulah kesan pertama saya.

Tapi kesan itu pelan-pelan rontok begitu Yesaya tersenyum. Insting saya mengatakan, kenalan baru di hadapan saya ini seorang yang baik, ramah dan bisa dipercaya. Untuk urusan membaca kepribadian orang, saya sangat memercayai dan mengandalkan pantulan dari sebuah senyuman. Saya tahu persis mana senyuman yang palsu dan mana yang terpancar dari hati yang polos bak seorang anak kecil. Senyum Yesaya masuk kategori yang terakhir ini.

Kepribadian Yesaya semakin terbuka ketika kami sama-sama menjalani masa orientasi sebagai mahasiswa baru. Kakak-kakak tingkat rupanya berhasil menemukan bakat terpendam Yesaya sebagai seorang penghibur atau yang oleh orang-orang pada generasi ini disebut dengan istilah entertainer. Yesaya memang cukup ekspresif ketika diminta untuk tampil di depan publik oleh para senior. Entah karena melakukan kesalahan atau karena memang sengaja dicari-cari kesalahannya. Maklum, namanya saja masa orientasi. Walau awalnya terkesan pemalu, tapi ia punya keberanian untuk melawannya dan berusaha untuk tetap tampil.

Masa Orientasi *foto dari Yosi Rorimpandey
Masa Orientasi *foto dari Yosi Rorimpandey

Yesaya memang pandai menyanyi. Suaranya tidak fals. Walaupun tak memiliki karakter yang unik, ia jelas tahu bagaimana menyanyi yang baik. Ia juga bisa menari. Tapi dalam hal berbicara, ia terhitung cukup cepat untuk ukuran kami. Kalau sedang semangat, bicaranya bisa merepet seperti mitraliur Belanda pada perang kemerdekaan dulu.

Dan ketika semua tingkah polahnya itu diracik dengan sifat dasarnya yang polos, maka siapapun yang melihatnya pasti akan tertawa terhibur. Minimal tersenyumlah. Sisi penghiburnya ini memang kemudian menjadikan Yesaya sebagai sasaran plonco kakak-kakak tingkat yang jahil. Dan menariknya, Yesaya tak sedikitpun merasa sedih atau marah. Ia mengalir dan menikmati saja semua itu. Setiap tawamu kawan, adalah juga kebahagianku. Mungkin begitulah prinsip yang selalu ia pegang dalam hidupnya.

pada acara Jambore Mahasiswa Teologi-Ushuluddin di Kaliurang, Yogyakarta *source: yosi rorimpandey
pada acara Jambore Mahasiswa Teologi-Ushuluddin di Kaliurang, Yogyakarta *source: yosi rorimpandey
Yesaya Kafolamau (kanan) *image courtesy Yosi Rorimpandey
Yesaya Kafolamau (kanan) *image courtesy Yosi Rorimpandey

***

Menginjak semeser delapan, sekitar tahun 2003an, hubungan saya dan Yesaya merenggang. Bukan karena kami terlibat konflik, tapi disebabkan persoalan teknis dan waktu semata. Di masa-masa menjelang akhir studi kami itu, kami banyak mengikuti kelas yang berbeda. Saya, yang lebih banyak tertinggal pelajaran, kala itu harus mengikuti beberapa kelas bersama adik tingkat. Jadi praktis intensitas pertemuan kami semakin berkurang. Apalagi mulai semester itu Yesaya juga sudah tidak tinggal lagi di asrama.

Kerenggangan hubungan kami terus berlanjut bahkan hingga masing-masing berhasil menyelesaikan studi sarjananya. Tuntutan untuk fokus menyelesaikan skripsi memang sangat besar. Saya harus akui pada masa-masa itu saya menjadi orang yang sangat tertutup. Sama sekali tidak membuka pintu sosialisasi dengan orang lain. Hidup hanya diisi baca buku, berkutat di perpustakaan, menulis dan konsultasi dengan dosen pembimbing. Pada kurun waktu ini kami sepertinya benar-benar sudah putus kontak total.

Setelah lulus dan wisuda, kami semakin tenggelam dalam tugas-tugas dan persoalan-persoalan kami sendiri. Saya bahkan betul-betul tidak tahu di mana gerangan Yesaya tinggal. Hanya sesekali saya dengar dari kawan bahwa ia saat itu sudah pulang kembali ke Kupang. Begitulah, tak terasa waktu terus berputar.

Sembilan tahunan sudah berlalu hingga pada hari minggu lalu ( 6/5) saya dikejutkan sebuah kabar yang mengatakan bahwa Yesaya sudah wafat. Terus terang saya kaget. Sekian waktu tak ada kontak, tidak pernah dengar kabar sakitnya koq ini sekalinya mendengar kabar, ia sudah kembali ke pelukan Sang Bapa. Saya sedih.

Lebih sedih lagi ketika saya berusaha untuk mengingat-ingat kapan dan pada peristiwa apa saya terakhir kali ketemu dengan Yesaya. Dan saya tak mampu untuk mengingatnya. Semakin keras saya berusaha semakin kosong. Saya merasa berdosa sekali karena tak mampu mengingat kapan terakhir berjumpa dengan orang yang dulu pernah dekat dalam kehidupan saya.

Tapi saya tahu betul, Yesaya orang yang sangat baik. Saya bersaksi untuk itu. Dan saya yakin banyak dari orang yang pernah kenal dan dekat dengannya juga akan bersaksi hal yang sama.

Setiap hari selama tiga tahun pertama masa-masa kuliah saya selalu terhibur dengan kehadiran Yesaya. Ia selalu jadi penengah, jika terjadi konflik antara saya dengan teman-teman sekelas yang lainnya. Ia juga turut berperan sebagai tim sukses saya ketika saya sedang gigih-gigihnya mendekati Kenang, kakak tingkat saya yang kelak menjadi istri saya hingga sekarang.

Asrit Kaita Lapiru, adik kelas saya yang juga berasal dari NTT punya kenangan manis tentang Yesaya. Ia ingat, ketika Yesaya dulu sambil kuliah sempat pernah bekerja di sebuah perusahaan pengrajin tas kulit, ia pernah memberinya sebuah dompet berwarna merah. Selang beberapa bulan kemudian, Yesaya kembali memberinya dompet. Kali ini warna hitam. Asrit menerima pemberian itu dengan senang hati. Bahkan kedua pemberian mendiang Yesaya itu hingga sekarang masih disimpannya dengan baik.

Asrit juga ingat, bagaimana Kak Yesko -begitu Yesaya dipanggil- sering menghiburnya dengan nyanyian-nyanyian yang berasal dari daerah NTT. Ini dilakukan Yesaya di dalam mobil sepanjang perjalanan pulang pelayanan dari gereja. Menurut Asrit, ini jadi hiburan tersendiri bagi teman-teman yang berasal dari Indonesia Timur sebagai obat penawar rindu akan kampung halaman nun jauh di sana.

Agus Simanjuntak juga punya kenangan bersama Yesaya yang begitu dalam menggurat di hatinya. Waktu itu Agus dan Yesaya sama-sama sedang tugas pelayanan di sebuah rumah singgah di daerah Pondok Gede. Saat itu, kondisi keuangan Agus sedang benar-benar berada di masa kritis. Bahkan untuk ongkos perjalanan ke tempat pelayanan saja tidak mencukupi. Apalagi untuk jajan makan. Nah, di saat itulah Agus merasa bersyukur karena dalam pelayanan itu ia berpasangan dengan Yesaya. Yesaya begitu setia kawan. Ia memahami keadaan Agus dan bersedia untuk berbagi dalam menjalani kesulitan itu bersama-sama.

Pengalaman yang agak lain diceritakan oleh Dominikus Budiman kepada saya. Ia secara khusus mengenang sebuah peristiwa berkesannya dengan mendiang Yesaya. Kejadiannya di asrama putra. Saat itu, Domi sedang dalam pergumulan batin yang hebat. Nah di saat-saat hidupnya sedang limbung itulah, Yesaya selalu menjadi tempatnya mencurahkan seluruh unek-uneknya. Kesediaan Yesaya untuk mendengar memberikannya kelegaan. Walaupun itu tak berarti pergumulannya terselesaikan. Tapi setidaknya Domi merasakan adanya secuil harapan. Dari Yesayalah Domi belajar untuk mulai bangun di malam hari dan memanjatkan syafaatnya.

***

Sebagaimana arti namanya, Yahweh (Tuhan) itu adalah keselamatan, hidup Yesaya di mata kami kawan-kawannya  memang mengingatkan kami akan suatu pesan penting yang membawa optimisme dalam pasang surutnya hidup ini. Lewat kesediaan dan ketulusannya mendengar dan menampung keluh kesah para sahabat, lewat kesetiakawanannya, lewat keceriannya, Yesaya bersaksi bahwa Tuhan itu adalah keselamatan kita. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita.

Selamat jalan Yesaya Kafolamau. Maafkan saya karena pernah melupakanmu selama beberapa waktu.

“Seperti seorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu…” Yesaya 66:13

Kebayoran Baru, 2012

MD

One thought on “Kawan Yang Setia Menghiburmu

  1. Jadi ingat masa-masa dulu bersama Yesco,
    selamat jalan Yesco,,,:(
    Kau sudah damai dan bahagia bersama Bapa di surga…:)
    we love u always :))

    Like

Leave a comment