Pemuda Lereng Merapi, Pengawal Tradisi: Catatan Perjalanan dari Desa Sumber Magelang

Pada suatu pagi yang dingin di bulan Juni itu, ketika saya sedang berdiri di tepi jalan pedesaan berbatu untuk menikmati kehangatan matahari pagi, beberapa orang berjalan terburu-buru melalui saya sambil memegang secarik kertas. Mereka semua turun mengarah ke selatan. Ini pagi pertama saya di lereng barat Gunung Merapi. Tepatnya di dusun Diwak, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Tegak oleh rasa penasaran, bergegas saya ikuti mereka. Dan tak sampai semenit berjalan, di depan mata sudah terlihat pusat keramaian yang menjadi tujuan warga desa sepagi itu.

Eyang-eyang putri, ibu-ibu dan hanya sedikit darinya bapak-bapak, bergerombol mengantri di depan sebuah rumah. Sebuah pickup minibus hitam terparkir di depan rumah itu. Dua orang pemuda mondar-mandir memuntahkan wadah-wadah keranjang berisi tempe dari bak minibus itu dan membopongnya ke dalam rumah. Makin penasaran, tambah cepat saya langkahkan kaki mendekati rumah itu.

Warga desa yang sedang mengantri seorang demi seorang mulai menyadari kehadiran orang asing di tengah-tengah mereka. Saya melayangkan senyum, sembari mengangguk. Para eyang dan ibu itu pun membalas senyum saya dengan lebih ramah lagi sambil dengan itu meluncurlah serangkaian tutur kata Jawa yang hanya saya pahami artinya sepotong-potong saja. Tak tahu harus membalas apa, spontan saya hanya menjawab “injih” sambil terus-terusan menebar senyum. Untunglah mereka segera kembali dalam aktivitas mengantri: mendaftarkan nama, memberikan kupon, lalu mengambil jatah tempe dan segera melupakan kehadiran saya. Seandainya saja mereka terus mencecar saya dengan percakapan berbahasa Jawa, entah apalah jadinya.

Rumah di hadapan saya ini ternyata rumah Pawit Santoso sang kepala dusun Diwak. Di tembok depan rumahnya ada papan kayu yang menyatakan itu. Juga ada sebuah papan lain, yang isinya berupa peringatan akan bahayanya debu halus yang keluar dari Gunung Merapi serta langkah-langkah untuk mengatasinya.

Saya menahan diri sejenak di depan rumah itu. Saya masih bertanya-tanya dalam hati, pembagian tempe itu dalam reangka apa? Setelah agak sepi saya beranikan diri menemui Pak Kadus dengan maksud mencari informasi soal ini. Saya diterima oleh istrinya karena ternyata Pak Pawit sedang tak ada di rumah. Untunglah ibu Pawit tak keberatan mewakili suaminya untuk berbagi informasi dengan saya.

Sambil berdiri, Ibu Pawit menjelaskan banyak hal kepada saya sambil mengajak melihat-lihat kesibukan pengurus warga yang masih sibuk menyelesaikan pembagian tempe di rumahnya itu. Rupanya, kegiatan pembagian tempe kepada warga desa tadi pagi adalah salah satu program bantuan dari sebuah lembaga kemanusian asing pasca meletusnya Gunung Merapi di bulan Oktober 2010 lalu.

Lembaga itu menyalurkan bantuannya kepada tiga kecamatan di Kabupaten Magelang yaitu; Sawangan, Dukun dan Srumbung. Bentuk bantuan disesuaikan dengan kerusakan yang diderita warga akibat erupsi Merapi itu. Atau dengan kata lain, bantuan disesuaikan dengan kebutuhan warga. Bagi desa-desa yang sarana kebutuhan bersamanya rusak, bantuan difokuskan dalam betuk perbaikan sarana-sarana tersebut. Teknis pelaksanaannya tentu saja dibantu oleh LSM lokal dan aparatus desa.

Ada tiga kelurahan yang tidak mengalami kerusakan-kerusakan sarana bersama. Ketiganya itu adalah: Kelurahan Sumber, Kelurahan Ngargomulyo, dan Kelurahan Soko. Bantuan untuk ketiga kelurahan ini karenanya difokuskan dalam bentuk tunjangan kebutuhan pokok (pangan). Dan dusun Diwak termasuk salah satu yang mendapatkan bantuan dalam bentuk ini. Sejak Maret, pemenuhan kebutuhan pokok mereka tertopang dengan adanya tunjangan berupa beras sebesar 10 KG setiap orang per bulannya, jatah sepapan tempe setiap hari per orangnya, dan minyak goreng yang dibagikan per bulannya.

***

Dusun Diwak letaknya 33 KM di sebelah utara kota Jogjakarta. Untuk menuju ke sana dari Jogja, kita bisa mengambil jalan yang mengarah ke kota Magelang. Pada kilometer ke 25 kita akan tiba di kota Muntilan dan dari sini kita merubah haluan ke arah timur, menuju kota Boyolali. Jarak yang tersisa hingga ke dusun Diwak dari Muntilan ini tinggal 7KM saja. Dan jarak itu dapat ditempuh cukup dalam waktu 15 menit berkendaraan saja.

Terletak pada lereng barat Gunung Merapi –di ketinggian 600 mdpl- menjadikan Diwak sebagai salah satu desa yang subur. Merapi cukup teratur dalam menebarkan pupuk alami bagi penduduk yang tinggal disekitarnya. Antara 2 hingga 3 tahun sekali Merapi ‘batuk-batuk’ dalam letusan berskala kecil. Dan baru dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahunan ia mengeluarkan isi perutnya dalam skala yang besar. Posisinya yang hanya berjarak kurang lebih 15 KM dari puncak Merapi membuat Diwak tak pernah luput dari debu vulkanik kesuburan yang dimuntahkan oleh Merapi itu.

Omong-omong soal Merapi, gunung ini adalah satu dari 129 gunung berapi aktif yang paling terkenal di Indonesia. Aktifitas vulkaniknya menjadikan gunung ini sebagai laboratorium alam untuk ujicoba berbagai peralatan dan metodologi penelitian bagi para peneliti ilmu vulkanologi di seluruh dunia. Sejak mulai dicatat secara teratur pada akhir abad 19, hingga kini Merapi kurang lebih sudah mengeluarkan 80an kali letusan.

Erupsi pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terbesar di abad ke-19. Letusan yang berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D itu telah menghasilkan kawah berdiameter antara 480 hingga 600 meter. Gemuruh dentuman suara letusannya, kabarnya terdengar hingga ke Karawang (Jawa Barat), Madura dan Bawean (Jawa Timur). Awan panasnya atau pyroclastic flow –yang oleh warga setempat disebut dengan wedhus gembel– mengalir bergulung-gulung hampir ke semua hulu sungai yang berasal dari puncak Merapi: Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol. Awan panas dan material produk letusan itu menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas ketinggian 1000 mdpl.

Pada 26 Oktober 2010, persis setahun yang lalu, setelah selama sebulan lebih menggeliat dari tidurnya -mengeluarkan erupsi-erupsi kecil- Merapi akhirnya meletus hebat. Subandriyo, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sebagaimana dikutip Antara News mengatakan, letusan Gunung Merapi pada 2010 itu bahkan lebih besar dibandingkan dengan letusan yang terjadi pada tahun 1872.

Jika diukur dengan indeks letusan, pada letusan 1872 jumlah material vulkanik yang dilontarkan Gunung Merapi selama erupsi mencapai 100 juta meter kubik. Sedangkan jumlah material vulkanik yang telah dimuntahkan Gunung Merapi sejak erupsi 26 Oktober kurang lebih telah mencapai 140 juta meter kubik.

Luncuran awan panasnya pun ikut memecahkan rekor sebelumnya. Tercatat, luncuran awan panas terjauh tahun lalu mampu menjelajah turun hingga ke Cangkringan yang berjarak 15 KM dari puncak. Oleh sebab itu pemerintah pun segera mengungsikan 379.422 penduduknya dari Kabupaten Klaten, Magelang, Boyolali, Yogyakarta ke radius aman, 20 KM dari puncak Merapi. Para warga dari dusun Diwak juga termasuk yang diungsikan tersebut.

***

Siang itu, delapan bulan setelah erupsi Merapi yang terakhir, sebuah rumah berlantai keramik warna hijau lurik mulai didatangi oleh anak-anak dusun Diwak. Rumah yang nampak jelas belum lama dibangun itu dijadikan tempat latihan berkesenian dan belajar bagi anak-anak Sanggar Sapu Lidi (SSL). Anak-anak ini tengah menunggu waktu berlatih gamelan. Mereka terlihat senang. Tawa dan canda kerap terselip dalam setiap percakapan mereka. Meletusnya Merapi beberapa bulan yang lewat sepertinya bisa sejenak mereka lupakan dalam kebersamaan dengan teman-teman sesanggar ini.

Sanggar Sapu Lidi adalah sebuah kelompok yang secara rutin mengadakan pelatihan-pelatihan bagi anak-anak dusun Diwak yang punya minat untuk berkesenian. Di sini, anak-anak dilatih sesuai minat masing-masing: ada kelompok musik calung, kelas biola, tari-tarian Jawa klasik, kesenian lapangan, geguritan & macapat, seni teater, ketoprak¸seni mendongeng, bahkan hingga ke seni lukis, seni ukir dan seni pahat. Selain beragam jenis kesenian itu, anak-anak SSL juga dilatih belajar berbahasa Inggris agar tak kalah bersaing dengan anak-anak kota.

Kenty Suratman, salah seorang warga Diwak yang juga relawan pengajar kesenian di SSL mengatakan kegiatan sanggar itu secara substansi sebenarnya sudah berjalan lama. Kebetulan ia dan keluarganya merupakan pewaris dan pelaku kesenian tradisional Jawa semacam: ketoprak, jathilan atau kuda lumping. Selama ini, mereka bisa menjalankan kegiatan pentas kesenian cukup hanya dengan mengandalkan anggota keluarga besarnya saja. Namun, untuk pementasan seni tradisi yang bersifat kolosal -semacam yang biasa dilaksanakan setiap tanggal 1 Suro– ia dan keluarganya jelas tak mampu. Mereka butuh lebih banyak melibatkan orang-orang di sekitar mereka. “Dari kebutuhan itulah mulai disadari pentingnya pengkaderan dan pelatihan kepada anak-anak warga setempat,” demikian penjelasan Kenty yang lulusan Institut Seni Indonesia Jogjakarta ini.

Dari sekian banyak anak-anak Diwak yang tergabung dalam SSL, saya kemudian berkenalan dengan seorang remaja pria bernama Yohannes Siskawanto. Di sebuah lapangan voli berukuran kecil, bersebelahan dengan pepohonan bambu pada siang yang sejuk itu kami berbincang-bincang akrab sambil ditemani desir gemerisik daun-daun bambu yang tertiup angin.

Siska (16 tahun), begitu ia biasa dipanggil, adalah pelajar kelas 2 dari SMK Sanjaya di Muntilan. Soal berkesenian, sebenarnya sudah cukup lama digelutinya. Sejak kelas 1 SD ia sudah terlibat dalam seni tari warokan. Tapi baru sejak di bangku kelas 1 SMP lah ia dibimbing berkesenian di Sanggar Sapu Lidi oleh Kenty dan kawan-kawan relawan lainnya.

Sekarang, ia mampu memainkan beberapa jenis instrumen mulai dari gamelan hingga calung. Ketika awal berkenalan dengan gamelan sekitar lima tahun yang lalu, Siska dipercaya untuk memegang bonang.

[Bonang itu alat musik pukul terbuat dari logam. Bentuknya semacam gong tapi dengan ukuran yang kecil, dengan oktaf menengah hingga tinggi. Bonang ada dua jenis. Bonang barung dan bonang panerus. Bonang barung ukurannya lebih besar dengan oktaf tengah hingga tinggi. Bonang panerus ukurannya lebih kecil lagi dengan oktaf yang lebih tinggi.]

Tapi suatu saat dia tertarik dengan kendhang. Dan ia pun mulai mempelajari cara memukul kendhang besar. Pada waktu latihan, Siska harus membagi waktu agar ia dapat menguasai kedua alat musik itu. “Akhirnya untuk gamelan, saya sekarang bakunya megang bonang panerus, sedangkan pada kesenian calung saya sekarang megang kendhang besar,” ujarnya sambil tersenyum.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Siska yang anak seorang petani itu tidak jauh berbeda dengan anak-anak sebayanya di sana. Pagi hingga siang ia habiskan untuk bersekolah di Muntilan. Pukul dua siang, sepulang sekolah kadang ia langsung pulang. Setelah matahari agak turun sedikit, ia suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya untuk main volly. Lalu nanti menjelang senja ia biasa membantu orangtuanya di rumah.

Kalo sore gini kadang disuruh cuci piring. Kadang disuruh menghidupkan api. Di daerah sini kan dapurnya masih menggunakan tungku kayu bakar. Kalo dulu sih masih sering diminta bantu nyari kayu bakar. Sekarang pulang sekolah saja sudah sore. Jadi orangtua biasanya nyari sendiri,” begitu kisah Siska tentang kesehariannya.

“Kamu suka belajar ‘gak?” tanya saya iseng.

“Ya belajar. Dulu sih rutin. Kalo sudah SMK gini ya jarang. Soalnya kan lebih banyak praktek. Kalo pas praktek itu masuknya jam 10 pagi pulangnya jam 5 sore.”

“Malam kadang saya belajar. Kecuali kamis malam dan sabtu malam. Itu jadual latihan calung atau gamelan untuk setiap minggu ke-2 dan ke-4 setiap bulannya. Sedangkan minggu pertama dan minggu ke-3 biasa dipakai untuk kegiatan Mudika (Komunitas Muda-mudi Katolik –penulis-),” jawab Siska.

“Pernah ikut lomba?” tanya saya.

“Saya kejuaraan mungkin ya cuma juara saat mewakili sekolahan. Juara satu Lomba Seni Musik Tradisional tingkat kabupaten. Kebetulan di SMP itu yang ngajar ya Bu Kenty juga.”

“Pernah juga yang warokan tadi itu. Juara 3”

“Terus waktu saya kelas 3 SMP itu musik tradisi lagi, juara satu juga,” jawabnya sambil mengingat-ingat.

Siska kemudian terkenang sebuah kisah manis sehubungan perlombaan ini. Pada kejuaraan Lomba Seni Musik Tradisional empat tahun yang lalu itu, ia dengan teman-teman sekelompoknya sebenarnya sudah berhasil menang hingga di tingkat kabupaten. Mereka kemudian naik bertanding di tingkat propinsi, menghadapi kelompok-kelompok terbaik lain dari kabupaten-kabupaten se Jawa Tengah. Sayangnya, Siska dan kawan-kawannya harus mengakui kekalahan mereka di sini. Tapi, ia tetap yakin bahwa kekalahannya itu bukan karena keterampilan mereka kurang baik dibandingkan lawan-lawan mereka, namun semata-mata karena persoalan teknis saja.

“Kami kalah karena gamelan kami tidak layak,” ujarnya sambil menunduk. Ranting kayu yang dari tadi dipegangnya, ia gores-goreskan ke tanah secara sembarang.

Menurut Siska, gamelan yang mereka gunakan dalam kejuaraan itu memang sudah tidak layak pakai karena banyak yang pecah. Tidak ada pihak yang tergerak untuk mengusahakan penggantian atau perbaikan gamelan mereka. Mungkin terkendala pendanaan.

Mereka lalu dapat info kalau Mbah Sastro, salah seorang sesepuh desa mereka yang masih kerabatnya Ibu Kenty memiliki beberapa instrumen gamelan yang kini terbengkalai dibiarkan begitu saja di kandang sapi miliknya. “Sudah dilempuroke,” celetuk Franciscus Xaverius Dedes Afriyanto -rekan Siska bermain gamelan di SSL- kepada saya di kesempatan yang berbeda.

Siska bersama teman-temannya kemudian meminjam dan mengambil gamelan Mbah Sastro. Mereka dengan semangat bahu-membahu menggotong instrumen-instrumen gamelan tersebut ke sanggar. Jaraknya lumayan juga untuk medan yang naik-turun macam di desa mereka itu. Mereka juga harus ekstra teliti dalam membersihkan gamelan itu. Karena sebagaimana dikatakan Siska sambil tertawa, “Gamelannya itu sudah banyak telepongnya (tai sapi –penulis-) juga.”

Setelah dibersihkan, gamelan-gamelan tadi lalu diamplas. Tali-tali penampang bonang, kenong, dan gendher yang sudah putus mereka ganti dengan yang baru. Begitu juga untuk wadah-wadahnya. Kayu-kayu yang suda keropos juga diganti dengan kayu seadanya dulu. Termasuk alat-alat pemukulnya.

“Jadi, kami ikut lomba tingkat propinsi itu ya dengan kondisi seperti itu. Gamelan masih berkarat. Belum dicat semua. Ya kayunya ya besinya. Keduanya belum di cat.”

“Nah, sepulang kekalahan di tingkat propinsi itu kan ada semacam uang transport dari sekolahan itu, kalau tidak salah setelah kami kumpul-kumpulkan itu ada sekitar tiga jutaan. Barulah dari uang itu kami belikan amplas, tali-tali, cat merah, cat emas, dan cat kuning. Juga seragam buat kami. Kami perbaiki semua. Makanya gamelan itu jadi lumayan bagus seperti sekarang,” katanya dengan bangga.

Matahari semakin condong ke barat. Hari semakin sore. Siska masih harus menjalani satu kali latihan lagi bersama teman-temannya sore ini sebelum mereka tampil di acara penutupan Festival Senyum Merapi pada esok hari.

“Bagaimana kamu menggambarkan dirimu sendiri?” tanya saya.

“Yah, saya termasuk orang yang biasa-biasa saja. Pergaulan dengan teman juga biasa saja. Ndak terlalu banyak.”

“Di sekolah, saya hanya akrab dengan teman-teman yang satu SMP dengan saya dulu. Dari sekitar sini saja. Dari kelurahan Sumber dan Ngargomulyo. Selebihnya dengan yang lain kami kurang akrab.”

“Kami ‘kan bisa dikatakan hanya sebagai anak-anak lereng Merapi. Sungkan bergaul akrab dengan mereka yang pergaulannya sudah lebih dari kami. Kami cukup senang dengan kesederhanaan kami.”

“Selain musik tradisi dan kesenian Jawa, apa kamu suka musik masa kini? Musik kontemporer?” tanya saya.

Mmmh, saya suka sih dengerin. Tapi gak bisa mainnya.”

“Saya suka Iwan Fals dan Ebiet.”

“Kenapa suka Iwan Fals dan Ebiet?”

“Ya hanya karena pas didengerinnya itu ya enak. Ndak seperti Peterpan atau apa itu ya?” katanya sambil berusaha mengingat-ingat sebuah nama band lokal. “Saya malah ndak masuk itu dengernya.”

“Siska, 5 tahun dari sekarang kamu melihat dirimu akan jadi apa?” tanya saya sebelum mengakhiri perbincangan.

“Seniman!” jawabnya mantap.

Oktober 2011
MD

5 thoughts on “Pemuda Lereng Merapi, Pengawal Tradisi: Catatan Perjalanan dari Desa Sumber Magelang

Leave a comment