Indra Qadarsih “Turun Dari Langit”

“Tolong beri kesempatan, satu kali lagi,

Untuk menuruni langitmu dan memulainya kembali”

(BIP – Turun Dari Langit)

Semua yang dibayangkan khalayak tentang kehidupan seorang rockstar pasti segera buyar jika kenal dengan sosok satu ini. Tampilannya sederhana dan biasa-biasa saja. Ia bukan tipe orang yang bergantung dengan aturan tata busana atau fashion. Untuk tampil di depan umum, ia cukup nyaman dengan kaos, jeans dan sepatu kets. Di tahun 90an ia bersama bandnya merasuki setiap relung terdalam jiwa-jiwa anak muda Indonesia. Terutama anak-anak muda pinggiran atau yang secara sosial terpinggirkan. Band ini mengisi hari-hari anak muda yang sedang mencari jatidiri. Bagi mereka, sampai kini ia tetaplah seorang rockstar yang terus dikagumi dan dipuji. Sosok yang sedang saya bicarakan itu adalah seorang Indra Chandra Setiadi atau publik musik rock Indonesia mengenalnya dengan nama Indra Qadarsih.

Pada Minggu siang 10 Juli 2011, saya berkesempatan mengikuti aktifitas Indra. BIP, grup musiknya sekarang – singkatan dari inisial masing-masing pendirinya: Bongky, Indra, dan Pay- malam nanti menjadi pengisi acara puncak penutupan Pekan Raya Jakarta 2011 di Kemayoran. “Elo dateng aja ke sini. Bareng gue aja sebelum maghrib,” ajak Indra. “Eh, ketemu di rumah aja jam satu siang bro”, ralatnya kemudian. Maka menjelang pukul 13.00 itu, saya sudah tiba di sebuah kawasan pemukiman padat penduduk di daerah Pancoran Mampang, Jakarta Selatan.

Banyak yang tidak menyangka, dari sebuah gang sempit di salah satu sudut Jalan Pancoran Barat ini tinggal seorang rockstar, seorang pemain keyboard handal cum sound engineer, yang lewat tangan dinginnya banyak diminta untuk mengerjakan proses mixing dan mastering, baik penyanyi solo maupun band-band terkenal saat ini seperti Kotak, Alexa, Pee Wee Gaskins, GIGI, Slank, Tompi, RAN, Kuburan, Netral, dan SORE.

Dan di luar semua predikatnya sebagai seorang musisi berbakat cum sound engineer yang disegani, Indra memang seorang yang sangat sederhana. Ovi Sardjan, salah seorang sepupunya, berkisah tentang gaya hidup sederhana Indra. “Mas Iin, orangnya low profile, kemana-mana pake ojek atau taksi aja. Gak mau punya mobil. Dari dulu begitu,” ujarnya.

Siang itu, Indra baru saja bangun saat menerima saya di ruang tamunya yang mungil. Kami duduk santai sambil berbincang ringan di sebuah sofa berbentuk huruf L yang menempel di sudut kanan persis di bawah tangga ke ruang atas. Ia menggunakan sarung berwarna biru dan bertelanjang dada. Sebuah lemari pendingin ukuran sedang dan kipas angin di sudut lainnya membuat ruang tamu berukuran kurang lebih sembilan meter persegi ini terasa sempit. Persis di atas kami adalah studio tempat Indra biasa bekerja: mixing dan mastering. Ruangan yang sama sempitnya itu semakin kontras dengan peralatan-peralatan elektronik Indra yang canggih dan tentu saja tak murah. Ia menyebut ruang kerjanya ini: Batcave Studio.

Nisa dan Juno, putri dan putra Indra ikut bergabung duduk di ruang tamu. Mereka nampaknya malah sudah siap untuk segera berangkat. Sudah mandi dan sudah rapi berpakaian. Kaos mereka seragam. Sama-sama bergambar Angry Birds. Kaos Nisa berwarna merah sedang Juno berwarna ungu. Tapi Indra, sang ayah, justru belum mandi. Sambil menunggu, Nisa dan Juno bermain sendiri. Nisa membuka-buka buku bacaan. Juno berdendang lagu-lagu populer Indonesia yang sering diputar di stasiun tivi-tivi lokal. Tentu tak ketinggalan pula lagu-lagu terkenal yang dibawakan oleh band ayahnya. Sementara itu, Neneng Ulya, istri Indra, sibuk mempersiapkan segala keperluan dan kebutuhan anak-anak dan suaminya.

“Kita jam duaan ke Palu dulu. Baru ke PRJ. BIP dapat jatah check sound sampai jam empat sore,” kata Indra. Palu adalah sebutan singkat untuk Palu Studio, sebuah studio band terbuka untuk umum sekaligus kantor manajemen BIP. Letaknya di Jalan Utan Panjang III, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Sambil menunggu, Indra bicara soal kamera barunya. “Ini zoomnya dahsyat. Coba elo liat deh. Kemarin malam gue sempat motret bulan tuh,” ujarnya. Sorot matanya berbinar. Ia memang senang dengan gadget dan segala sesuatu yang berbau teknologi. Ia juga senang fotografi. Photoblog nya di Picplz.com banyak yang menyukai. Tercatat ada 237 pengikutnya. Di situ, ia sudah mengunggah 438 foto karyanya. Setiap fotonya rata-rata dilihat oleh 70an orang dan difavoritkan oleh 20an orang. Tapi foto-fotonya di blog tersebut diambilnya hanya dengan menggunakan kamera ponsel.

Gue emang awalnya nyari kamera yang bisa AEB. Ketemunya Nikon mulu. Eh pas banget ketemu yang ini nih. Padahal udah mao pulang. Taunya selain bisa AEB, zoomnya juga gila. Gue baca-baca sekilas, kalo optical sama digital zoomnya digabung itu setara dengan 72x zoom,” lanjutnya.

AEB (auto exposure bracketting) adalah fitur yang dapat membuat tiga buah foto dengan masing-masing eksposur yang berbeda secara otomatis. Nanti, bila tiga buah foto tadi akan digabungkan dalam sebuah aplikasi pengolah gambar, ia akan menghasilkan sebuah foto yang disebut HDR (high dynamic range). Foto-foto yang diambil dan diolah dengan teknik HDR ini memang menghasilkan gambar yang luar biasa indah serta dramatis.

Minggu sebelumnya, Indra mengajari saya sedikit trik membuat gambar HDR dari sebuah kamera ponsel. Dengan sebuah aplikasi pengolah gambar berbasis Android, ia dengan lancar mengajari saya langkah-langkahnya. Ia senang sekali berbagi ilmu. Tak sedikitpun saya menangkap kesan pada dirinya kalau ia takut tersaingi, misalnya. Semua langkah dan aplikasi yang digunakannya untuk mengolah gambar, ia beberkan dan bagikan.

Kebiasaannya berbagi ilmu ini bukan hanya soal fotografi. Di Twitter, dengan akun @indraq, ia sering membagikan ilmunya kepada para musisi-musisi muda. Ia sering dijadikan tempat bertanya mengenai hal-hal seputar mixing dan mastering, mulai dari pemilihan hardwarenya hingga settingnya. Dan kalau sedang tidak sibuk, Indra biasanya meladeni dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ilmu dan pengalamannya selama belasan tahun duduk di belakang peralatan audio mixer, synthesizer, dan komputer ia bagikan begitu saja kepada mereka yang mau bertanya dan belajar kepadanya.

***

Indra Qadarsih memulai debut di dunia industri musik sejak ia bergabung dengan grup rock Slank di tahun 1989. Saat itu usianya baru 18 tahun. Desember 1990, setahun kemudian, album rekaman pertama mereka, “Suit… Suit… He.. He”, keluar dan segera saja meledak di pasaran. Mendadak, dua lagu andalan mereka, “Memang” dan “Maafkan”, digemari oleh pendengar muda dan sering diminta untuk diputar di radio-radio lokal Jakarta hingga menyebar ke daerah. Popularitasnya makin meninggi ketika setahun sesudahnya (1991), album kedua mereka yang bertajuk “Kampungan” beredar di pasaran. “Mawar Merah” dan “Terlalu Manis” menjadi lagu yang sepanjang tahun itu banyak diputar dan sangat populer di kalangan anak muda.

Keberadaan Indra di grup Slank bisa dibilang unik. Indra penyuka musik jazz. Dan Slank adalah sebuah grup musik dengan akar rock dan blues yang sangat kuat. Pada fase awal berdirinya saja dan sebelum masuk rekaman, bertahun-tahun band ini selalu membawakan lagu-lagu The Rolling Stones –band asal Inggris yang kental beraliran rock n roll blues. Para personil lainnya pun baik Pay Parlin Burman (gitar), Bongky Marcel Ismail (bas), Bimbim Bimo Setiawan Sidharta (drum) dan Kaka Ahadi Wira Satriaji (vokal), semuanya bertumbuh di dalam asupan nutrisi musik-musik rock n roll blues. Kecuali Indra.

Sejak SMA, sekitar tahun 1986, Indra gemar main musik Jazz-Fussion dengan teman-teman band sekolahnya. Pilihan musik yang mereka mainkan adalah karya-karya: Al Jarreau, Casiopea, Krakatau, Koinonia, Dave Grusin, hingga Mezzoforte dan masih banyak lagi lainnya. Dengan bandnya saat itu, Kaldera, ia pernah ikut Yamaha Light Music Contest dan berhasil mendapat gelar juara ketiga. “First prizenya waktu itu Modulus Band,” ujarnya. Ia ingat, saingan Kaldera saat itu juga bukan band-band sembarangan, “ada Modulus, Halmahera, Emerald, wuiiih pada jago-jago, asli. Gearsnya juga bahaya. Hahaha,” kenangnya sambil tertawa. “Dulu itu,” lanjutnya, “skill nomer satu. Latihan fingering aja sehari bisa lebih kurang 6 jam. Dari jam 2 siang sampai jam 8 malam,” tegas Indra soal kebiasaan latihan musisi-musisi di eranya.

Pertemuannya dengan Slank juga bisa dikatakan sebagai sebuah ketaksengajaan. Sekitar tahun 1989, Indra membuat sebuah band –masih band jazz- bersama Ronald Fristianto (mantan drummer GIGI) dan Oppie Andaresta. Pada masa-masa itu, Indra dengan band jazznya ini sering latihan di sebuah studio di Jalan Potlot, Pancoran Duren Tiga, Jakarta Selatan. Studio ini milik Bimbim.

Bimbim mengajak Oppie untuk bergabung bersama bandnya, Lemon Tea. Lemon Tea biasa bermain di pub-pub malam membawakan lagu-lagu Top Fourty (40). Kala itu, Lemon Tea tak memiliki pemain keyboard. Oppie, yang kenal dengan Indra, mengenalkannya kepada Bimbim. Tawaran untuk bergabung dengan Lemon Tea pun diambil oleh Indra. “Nah, di sinilah semuanya bermula”, ujar Indra.

Suatu ketika, band Bimbim yang lain, Slank sedang kekosongan pemain keyboard. Adri Sidharta, keyboardis mereka, sibuk dengan studinya. Bimbim lalu menawari Indra untuk bergabung mengisi kekosongan itu. Pay juga ikut memanas-manasi agar Indra mau gabung. Indra tak begitu saja menerima tawaran mereka sebab ia sama sekali tak punya pengalaman bermain musik rock. Ia menjawab tawaran Bimbim itu, “waduh gue gak ngerti musik rock,” dengan polosnya. “Gak apa-apalah. Kan asyik kalau rock digabung sama chord jazz,” kata Bimbim dan Pay berusaha meyakinkan Indra. Indra pun merasa tertantang. Lalu ia terimalah tawaran tersebut.

Sejak itu Indra belajar keras untuk bisa bermain musik rock. Sebagai permulaan, ia mulai banyak mempelajari lagu-lagu dan sound yang dimainkan oleh Van Halen, White Snake, Winger, Asia, Dan Reed, Bon Jovi dan sejenisnya. “Kalo sampe enggak persis, gue bakalan diketawain abis”, kenang Indra.

***

Pukul 15.00 WIB, keramaian dan kesibukan mewarnai halaman Palu Studio. Dua-tiga orang berkaos hitam duduk-duduk dan mondar-mandir di depan pintu pagar. Di dalamnya, lebih dari enam buah motor parkir serampangan merapat di sisi sayap kiri. Sebuah Nissan Xtrail silver parkir menghadang kantor utama. Studio musik yang berlokasi di Jalan Utan Panjang III No. 4 ini menjadi titik kumpul dan berangkatnya para kru dan personel BIP yang malam itu akan tampil di Jakarta International Expo Kemayoran. Mereka menjadi pengisi acara penutupan Pekan Raya Jakarta 2011 yang telah berlangsung dari tanggal 9 Juni silam.

Di sebuah ruangan menuju studio, lebih banyak lagi orang-orang berkaos hitam yang sedang duduk-duduk sambil bergurau. Beberapa di antara mereka adalah BIPers –sebutan untuk fans berat BIP- yang berasal dari luar Jakarta. Ada yang cuma dari Parung Bogor, seperti Tony Yoi (32 tahun), tapi ada juga yang datang jauh-jauh dari Cirebon, seperti Tofa (34 tahun). Para BIPers yang dari luar Jakarta ini biasanya sudah datang 2-3 hari sebelumnya. Kali ini mereka menyempatkan mampir ke kantor manajemen BIP sekedar untuk melihat idola mereka. Sekaligus juga saling berkenalan dengan BIPers lainnya. Karena selama ini mereka biasanya hanya berkomunikasi lewat grup Rakyat BIPers Korslet di jejaring sosial Facebook.

Sementara itu di ruang kantor, Indra Qadarsih dan keluarga menunggu kedatangan personel BIP lainnya. Anak-anak Indra terhibur dengan tayangan film kartun dari sebuah kotak televisi di pojok kiri ruangan. Dede Kumala, additional drummer BIP, duduk di sebuah kursi di ujung ruangan dekat jendela. Fedora abu-abu menutupi sebagian rambut gondrongnya. Ia sedang asyik dengan Dell Streak, ponsel berbasis Androidnya. Ia tak menghiraukan posisi kacamata di hidungnya yang sedikit melorot. Di ujung lainnya, Rustam Rastamanis, manajer BIP terlihat agak gelisah. Bunyi ponselnya sejak tadi tak kunjung berhenti berdering. Ada saja panggilan yang masuk. “Kita awalnya mau bawain 10 lagu karena closing. Terus, tahunya diubah lagi jadi ke depan. Yang closing katanya J-Rock. Jadi, kita bawain 8 lagu aja,” ungkap Rustam.

***

Fans alias para pemuja dan pendukung fanatik menjadi elemen yang sangat penting bagi eksistensi sebuah band maupun artis solo. Dalam sepak bola misalnya, keberadaan dan dukungan para fans atau suporter diyakini mampu mendongkrak mentalitas para pemainnya. Itu sebabnya, fans fanatik sebuah klub sepak bola sering disebut sebagai “pemain ke-12”. Hal yang sama juga berlaku di dunia musik.

BIP dengan para BIPers juga memiliki sebuah hubungan yang erat dan unik. BIP sebagai sebuah band rock, eksistensinya juga terkait dengan keberadaan para pemujanya dan sebaliknya, para fans fanatik ini juga “tak bisa hidup” tanpa suntikan lagu-lagu motivasional karya pujaan mereka. Singkatnya, kedua pihak ini saling membutuhkan dan mengisi satu dengan lainnya.

Mohammad Aviciena (31 tahun) seorang BIPers asal Surabaya bersaksi bahwa lagu-lagu BIP selalu bisa menghiburnya ketika dalam kesesakan. “Terutama lagu yang Serasa Di Surga itu,” tegasnya. “Pernah saya ada masalah keluarga. Setiap kali ingat masalah itu saya jadi bengong. Tapi kalau bengong aja rasanya masalah itu semakin runyam. Begitu dengerin Serasa Di Surga itu baru rasanya adhem banget mas,” ujarnya. Sore itu Aviciena berbeda dengan para BIPers lainnya yang umumnya berkaos hitam. Ia mudah dibedakan karena menggunakan kaos warna hijau bertuliskan BIP Surabaya Turun Dari Langit.

Kecintaan pada idola memang tak bisa diukur dengan materi. Apa yang dilakkukan para penggemar fanatik di manapun kadang membuat kita kagum. Juga para BIPers ini. Misalnya saja, menurut Neneng Ulya, istri Indra yang sangat dekat dengan para BIPers ini, kadang mereka membuat kaos khusus untuk setiap event konser BIP.

Soal jarak juga tak akan jadi penghalang. Herman (32 tahun) dan Adam (28 tahun), BIPers asal Lombok, tak pikir dua kali untuk segera datang ke Jakarta begitu mendengar info bahwa BIP akan pentas di PRJ 2011. Begitu pula dengan Ariadi (35 tahun) dan Megi (perempuan, 27 tahun). Keduanya BIPers asal Makassar. Itulah cinta. Cinta para fans kepada idola mereka.

Cerita Tonny Yoi (32 tahun), seorang BIPers yang tinggal di Parung Bogor, tentang relasi unik antara personil BIP dengan BIPersnya bahkan lebih menarik lagi. Album terakhir mereka, “Berangkat” (2010) ternyata diproduksi sedikit banyak atas paksaan para BIPers. Di tahun 2009 itu, terhitung sudah 5 tahun sejak BIP terakhir mengeluarkan album “Udara Segar” (2004). Para fans sangat rindu dengan karya-karya baru BIP. Namun karena kesibukan masing-masing personilnya, BIP sampai tak mampu lagi berproses kreatif.

“Nah dalam situasi tersebut, ternyata para BIPers masih saja mengharap. Hampir tiap hari ada aja yang dateng, untuk sekedar say hallo, menanyakan keadaan atau memberikan tuntutan. Belum yang melalui surat, telpon atau sms. Dari mulai bertanya, meminta, memohon, sampai unjuk rasa. Tiap malam minggu mereka berkumpul, nyanyi-nyanyi, membentang spanduk, sampai long march. Waktu BIP ultah, mereka jalan kaki dari lapangan Banteng ke studio, markas di Cempaka Putih! Pokoknya berbagai cara mereka lakukan, untuk menunjukan kecintaan dan menggugah BIP agar kembali berkreativitas untuk mereka.”

(http://www.reverbnation.com/page_object/page_object_bio/artist_1167489)

Untuk menjawab kegundahan para BIPers itulah di pertengahan Februari 2010, personel BIP beserta kru pergi menyepi ke sebuah daerah terpencil di Pandeglang. Mereka menyewa sebuah villa dan membawa serta segala peralatan rekaman dan bermusik mereka ke sana. Lansekap sekitar yang dihiasi petak-petak sawah, gunung, dan sungai diharapkan menjadi suasana penyegar yang dapat merangsang kreativitas bermusik mereka. “Iya. Kalo rekaman di studio tuh kita kayak kurang inspirasi. Di sini kan ada gunung, ada sawah, ada kodok, ada petir atau apalah macam-macam. Di studio cepet butek. Di sini alhamdulillah enggak,” kata Indra.

Selain alasan merangsang kreativitas ada pula alasan yang sifatnya lebih teknis mengapa mereka harus memilih tempat yang jauh, di luar studio di Jakarta. Sebagaimana diungkapkan oleh Pay, “sebagai pribadi, kita masing-masing udah punya kerjaan gitu ya di luar BIP. Makanya fokusnya susah. Jadi kita pilih tempat ini tuh supaya fokus. Gak ada yang ganggu. Ke tempat terasing. Dan terbukti jadi. Dalam waktu 2 hari aja udah jadi 6 lagu ya. Walaupun baru bagan-bagannya aja.”

Maka dengan dorongan semangat dari para BIPers itulah, akhirnya album ke-4 mereka “Berangkat” berhasil rampung di tahun itu juga. Enam buah lagu berhasil mereka rajut dengan apik. “Pelangi dan Matahari” menjadi salah satu lagu yang diandalkan untuk mencetak hits. Tanggal 26 November 2010, mereka launching album ini di Hard Rock Café Jakarta.

3 thoughts on “Indra Qadarsih “Turun Dari Langit”

Leave a comment