Kabar

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer (Khotbah dari Jalan Hidup)

“What we do in life, echoes in eternity.” – Jenderal Maximus dalam Film Gladiator

 

 

Suatu ketika, pada pertengahan tahun yang lalu, saya terkenang akan sahabat dari masa kecil saya. Ia teman dalam banyak hal; mulai dari bermain, berolahraga, hingga bergereja. Usia kami berselang 3 tahun. Ia lebih muda dari saya. Kami berdua barangkali saling mengisi kekosongan kami masing-masing: ia sebagai anak tunggal merindukan saudara tua sedangkan saya merindukan saudara lelaki yang bisa saya ajak melakukan banyak hal layaknya lelaki, maklum saja adik saya seorang perempuan.

Tempat tinggal kami masih bisa dibilang selingkungan, walau tak bisa disebut bertetangga. Hanya diperlukan waktu tak lebih dari 3 menit berjalan kaki. Itu sebabnya hampir setiap hari, saya dan kawan saya itu selalu meluangkan waktu untuk bermain bersama. Sepulang waktu bersekolah tentu saja. Biasanya, segera setelah menyelesaikan makan siang di rumah, kami saling bertelepon dan bertemu.

Pertemanan kami hingga perjumpaan terakhir kami, seingat saya sudah berjalan hampir 11 tahun. Sejak saya berkuliah, pada tahun 1995an, kami memang sudah sangat jarang berhubungan. Kami masing-masing asyik dengan teman-teman dan lingkungan yang baru. Dan saya sendiri tak mampu lagi mengingat-ingat, kapan persisnya ia dan keluarganya pindah rumah dan mengapa ia tak mengabari saya soal itu. Jadi bisa dikatakan sejak saat itu saya hilang kontak dengan dia. Tak ada nomor telepon maupun alamat rumahnya sama sekali. Yang saya ingat, setiap kali saya melintas di depan rumahnya saya lihat penghuninya sudah bukan keluarga Tukidjo lagi.

***

Apa yang dilakukan orang-orang pada masa ini untuk mencari informasi baik secara umum maupun informasi khusus? Jawabannya: kita melakukan pencarian lewat internet. Umumnya kita mencari dengan mesin pencari Google; orang-orang menyebutnya dengan istilah Googling.

Saya pernah meencoba melakukan proses ini. Pada kolom pencarian saya tik: Perez Immanuel Tukidjo. Dari beberapa hasil pencarian, tak satupun sesuai dengan yang saya maksud. Saya belum menyerah. Masih ada satu tempat lagi yang belum saya cari dan ini harapan terakhir saya. Facebook; situs jaringan pertemanan terbesar di dunia maya.

Sepertinya, pada masa kini, tak seorang pun yang tak memanfaatkan Facebook untuk saling berhubungan di dunia maya. Baik yang yuwana maupun yang sudah tua, pejabat atau rakyat, lelaki maupun perempuan, bahkan -ini tak baik ditiru- anak-anak kecil di bawah usia 17 tahun pun juga ikut-ikutan ber Facebook ria tanpa tahu bahaya apa yang sedang mengancam di balik keseruan ini. Makanya, saya yakin akan menemukan Perez, sahabat saya itu, di Facebook ini karena sebelumnya sudah beberapa kali saya berhasil menjumpai kembali teman-teman lama yang sudah hilang kontak.

Namun, sayang sekali, setelah membolak-balik halaman-halaman hasil pencarian, kawan yang saya cari itu rupanya tak ikut membuat akun Facebook. Karena dari berbagai nama Perez yang saya telusuri tidak ada yang cocok. Nihil. Usaha pencarian saya hentikan dulu saat itu. Saya menarik diri sejenak untuk mencari cara lain. Tak apalah bila cara itu agak melingkar dan memutar lebih jauh. Asal saya bisa menemukan sahabat lama saya, pikir saya kala itu.

Saya lalu teringat dengan seorang perempuan teman dekat Perez ketika ia masih di SMP dulu. Namanya Windy. Sayangnya, saya hanya ingat nama depannya. Dan mencari seseorang dengan bermodalkan nama depan saja, baik lewat mesin pencari Google maupun Facebook, hanya akan merepotkan dan melelahkan saja. Kata kunci nya begitu umum sehingga hasil pencarian akan mencakup ribuan dokumen halaman situs. Kembali saya menemui jalan buntu untuk saat itu.

Pernahkah kita memikirkan jalan keluar suatu persoalan tapi justru semakin dipikirkan rasanya semakin buntu tapi sebaliknya pada saat kita tak memikirkannya petunjuk ke arah jalan keluar persoalan itu justru menampakan diri dengan jelas dihadapan kita? Saya sering menemui yang seperti ini. Biasanya saat saya sedang melamun di perjalanan atau di kamar mandi.

Soal pencarian kawan saya ini pun saya kembali mendapatkan petunjuk, justru pada saat saya sedang tak memikirkan persoalan ini. Sontak, saya teringat ada seorang teman lain lagi yang kalau tak salah satu sekolah baik dengan Perez maupun dengan Windy ini. Namanya Satcha. Seingat saya, anak ini pergaulannya luas. Itu sebabnya kali ini saya amat berharap dapat mendapatkan nomer telepon atau pin Blackberry Windy darinya. Kali ini harapan saya terkabulkan. Pin Windy sudah di tangan. Tinggal mengatur waktu untuk mengontaknya.

Memang betul kata pepatah: di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Berhari-hari proses pencarian seorang sahabat di masa kecil yang sudah lama tak bertemu akhirnya membuahkan hasil. Perez, kawan lama saya itu, ternyata sudah wafat. Windy yang memberitahu saya. Darinya, saya banyak mendengar cerita masa-masa akhir hidup kawan saya itu. Sangat sulit menggambarkan bagaimana perasaan saya ketika mendengar kabar itu. Saya hanya berusaha memanggil kembali kepingan-kepingan sisa ingatan saya dengan Perez. Beberapa peristiwa kembali hadir dalam benak saya. Suara dan wajahnya masih bisa saya ingat betul. Terutama cara dia tertawa.

***

Begitulah, maka kisah pencarian sahabat yang baru saja saya ceritakan mengingatkan saya akan kata-kata Pramoedya yang di awal tulisan ini sudah saya kutipkan. Manusia harus menulis karena menulis adalah bekerja untuk keabadian. Di era sekarang ini, menulis sebagai kerja untuk keabadian secara teknis malah cenderung lebih mudah lagi dengan adanya teknologi internet. Tak perlu repot-repot menulis sebuah buku untuk dicetak, tak perlu tulisan dengan tema-tema besar, kita kini bisa menulis kisah-kisah kecil di blog, berceloteh di Twitter, menulis puisi-puisi konyol di dinding Facebook atau bahkan merekam gambar video diri sendiri yang tengah bernyanyi lalu menyiarkannya ke seluruh jagad maya lewat YouTube. Semua teks yang kita produksi tersimpan dengan baik dan kapanpun waktunya bisa di akses dengan mudah tak peduli dari manapun tempatnya. Hingga kini saya masih bisa mengakses timeline akun Twitter sahabat saya lainnya yang juga sudah wafat. Semua celoteh dia masih bisa saya baca lengkap dengan keterangan kapan tanggal dan waktunya celoteh itu dikirimkan. Bukankah ini adalah bentuk lain keabadian?

Menulis memang gampang-gampang susah. Butuh kedisiplinan yang tinggi dan banyak berlatih agar terbiasa menulis. Saya katakan ini bukan karena saya merasa lebih pandai menulis tapi lebih sebagai pemikiran umum saja. Apapun juga toh butuh kedisiplinan yang tinggi dan latihan yang terus menerus agar mencapai kesempurnaan.

Saya sendiri juga sudah bertekad. Saya harus disiplin dan banyak berlatih menulis. Saya kira sebagai awal, saya akan menulis apa saja yang saya bisa. Yang penting, menjadi diri sendiri dulu saja dalam menulis. Begitulah maka tulisan saya kali ini kiranya saya persembahkan dalam rangka mengenang sahabat saya: Perez Immanuel Tukidjo yang dulu pernah menjadi bagian dari keseharian masa kanak-kanak hingga saya remaja.

Posted with WordPress for @simulacra76‘s BlackBerry.

Leave a comment